Soto ayam bangkong

Sejarah Soto Ayam Bangkong

Soto Bangkong adalah salah satu bukti keberhasilan pemasaran soto sebagai makanan rakyat di Indonesia. Berawal dari penjual soto keliling pada tahun 1950 dan memiliki cabang yang tersebar hampir di seluruh pulau Jawa.

Kebanyakan orang mengira cabang-cabang tersebut dibuka dengan sistem waralaba, seperti KFC atau McD. Padahal, seluruh cabang tersebut dimiliki dan dioperasikan oleh keluarga H Soleh Sukarno, pendiri dan pemilik restoran Soto Bangkong pusat di Semarang, yang sekarang sudah berusia 80-an tahun. ”Semua sudah saya bagi sejak awal, biar tidak jadi masalah di kemudian hari,” kata Soleh, yang hingga kini masih selalu bangun pukul 02.30 dini hari untuk memasak sendiri soto yang dihidangkan di restorannya.

Setiap anak Soleh mendapat hak mendirikan cabang restoran Soto Bangkong sesuai jumlah anak masing-masing. Jadi, seandainya seorang anak memiliki empat anak (cucu bagi Soleh), maka ia berhak mendirikan lima cabang, yakni masing-masing satu untuk anak-anaknya dan satu untuk dia sendiri. ”Jumlah cabang Soto Bangkong tak boleh melebihi jumlah hak tersebut,” papar Soleh.

Melalui sistem itu, diharapkan sepeninggal Soleh kelak, tak terjadi rebutan di antara anak-anaknya tentang siapa yang berhak meneruskan usaha soto tersebut. Meski ”hanya” berjualan soto, aset Soto Bangkong tak bisa dipandang remeh. Jauh pada tahun 1970-an, Soleh sudah mampu menyekolahkan dua anaknya ke Jerman sampai meraih gelar sarjana dengan biaya sendiri dan naik haji hingga dua kali. Semua berkat soto.

Soto keliling

Sempat dikira berjualan soto daging kodok (bangkong dalam bahasa Jawa dan Sunda artinya katak alias kodok), Soleh memulai usaha berjualan soto keliling sejak masa penjajahan. ”Sebelum Jepang masuk, saya sudah jualan soto di daerah Peterongan. Saya belajar bikin soto dari bapak saya,” ungkap pria berdarah Sukoharjo yang lahir di Klaten ini.

Soleh berjualan soto di Semarang sampai era revolusi fisik tahun 1945. ”Waktu terjadi Pertempuran Lima Hari di Semarang, saya pulang ke Sukoharjo. Terus balik lagi ke Semarang tahun 1950 untuk jualan soto lagi,” kenang Soleh.

Dengan ikut juragan soto di daerah Karangkojo, Soleh dipercaya membawa satu angkring soto untuk berdagang di kawasan perempatan Bangkong dan sekitarnya. ”Waktu itu saya sudah berjualan di samping Kantor Pos Bangkong dari pukul 7 pagi. Kalau lagi sepi, pukul 9 malam baru pulang,” tutur ayah lima anak dari pernikahannya dengan Moesinah (almarhumah).

Cerita kelezatan soto Soleh kemudian menyebar dari mulut ke mulut dan mendapat julukan Soto Bangkong. Tahun 1957, Soleh mematenkan nama tersebut dan mulai membangun warung permanen sederhana di samping Kantor Pos Bangkong, yang masih ada dan menjadi pusat dari jaringan Soto Bangkong sampai kini.

Apa resep kelezatan Soto Bangkong sehingga digemari mulai dari rakyat jelata hingga pejabat negara? ”Resepnya sama saja dengan soto lain, tak ada yang rahasia. Tetapi intinya, kalau kita sudah senang mengerjakan sesuatu, kita harus membagi kesenangan itu dengan orang lain. Mulai dari masak soto sampai melayani pembeli, saya lakukan dengan senang, dengan krenteg, supaya rasa senang itu ikut dirasakan orang yang memakannya,” ujar Soleh.

Semangkuk soto sederhana pun bisa menjadi istimewa saat diberi sentuhan cinta.

DHF
foto: semarang.nl
© 2008 Kompas

Share on

There are no comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Start typing and press Enter to search

Shopping Cart
Need Help? Chat with us